Monday, December 17, 2007

ESCAPE : Menembus Batas Terali

Sebelum dipenjara, aku telah terpenjara bersama Kang Abas, bersama adikku `Dani Atrium` di Cipinang atau Salemba. Sebelum dipenjara, aku telah terpenjara bersama Ikbal di Sumatera sana. Sebelum dipenjara, aku telah terpenjara bersama saudara-saudara seperjuangan di Malaysia dan Singapura.

Aku telah terpenjara bersama Syaikh DR. Umar Abdurrahman disana, di Missouri sana. Aku telah terpenjara bersama DR. Safar Hawali dan DR. Salman Audah di Saudi Arabia, juga bersama ribuan mujahidin di penjara Ar-Ruwaisy, Riyadh, juga di Liman Turah, Mesir. Sebelum disiksa, aku telah disiksa bersama Mujahidin yang tertawan di Guantanamo sana, di sebuah kubus pembantaian bernama X-Ray Camp milik agresor dan teroris bernama; International Christian Army. My Soul, my heart, my life are with them... bersama para mujahidin... Penjara-penjara dunia kini telah terpenuhi oleh mereka-mereka yang memiliki jiwa perlawanan akan kekasaran dan keganasan Amerika. Aliran demi aliran empati dan simpati telah, akan, sedang dan terus membanjiri jeruji-jeruji besi. Ia terus akan menjadi "Mr Bom" yang akan segera melahirkan badai ketakutan di hati Yahudi dan Nasrani dengan segala konspirasi mereka.

Akan kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu...

(Ali Imran: 151)

Esok hari atau esoknya lagi, lusa atau setelah lusa, tahun depan atau sepuluh tahun lagi, seabad kemudian atau sebelumnya, atau bahkan sesudahnya, kelak dunia akan menjadi saksi akan kebenaran insan-insan yang jasad-jasad mereka terkurung buat sementara. Dunia yang sedang memerankan episode gelap dari sebuah cerita panjang bernama pertempuran kekal antara tentara Allah melawan tentara setan. Antara kaum muslimin melawan kafir.

Laksana gelap dan terang, matahari kebenaran masih terselimuti oleh awan-awan kebathilan. Inilah pergiliran:


Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'

(Ali Imron: 140)

Adalah wajar, jika hari ini kebenaran dianggap kebathilan. Demikian sebaliknya. Adalah lumrah jika hari ini seluruh mujahidin di seluruh belahan dunia manapun akan dianggap sebagai penjahat, akan dianggap sebagai bajingan... what else? Mereka yang seenaknya bicara dan memvonis, mengukur kebenaran dan kebathilan sebatas `perut` dan `bawah perut` mereka, bahkan ada yang mengatasnamakan negara, rakyat dan lain-lain. Tetapi, ada juga segelintir dari kalangan manusia-manusia Muslim yang ikut memberikan label kepada para mujahidin dengan label yang tidak semestinya. Mereka telah terserang virus kejahilan, alias kebodohan, alias ketidaktahuan akan nilai dien yang diyakininya.

Mereka telah jauh dari ajaran Al-Qur`an dan Sunnah. Mereka tidak mengerti atas apa yang dibacanya. Yang lebih tragis, ada diantara mereka yang meninggalkan tugas dari Allah untuk kemudian mendahulukan tugas dari manusia. Mereka telah meninggalkan shalat, meninggalkan Al-Qur`an... demi tugas.

Maka semakin lengkaplah `episode kegagalan` memainkan perannya. Semakin memarlah para mujahidin di tengah bilur-bilur luka hati dan raga. Setelah dihujat oleh kaum kufur, mereka kemudian dicaci maki oleh manusia-manusia yang mengaku diri sebagai Muslim. Mujahid babak belur... bersabarlah engkau...!

Adapun aku, ragaku, ada di sebuah `kancah tabah`. Manusia menyebutnya sebagai penjara. Ya, penjara. Harus kukatakan bahwa aku tidak di Guantanamo yang siksanya teramat luar biasa. Kata-kata dan pena saja takkan pernah sanggup melukiskan kebinatangan, kebiadaban, kejahatan, kebrutalan dan keganasan penjahat perang bernama George W. Dush dan Donald (bebek) Rumsfeld serta Wolfowitz.

Tidak juga aku berada di Siberia, tidak juga di Bastile, penjara-penjara milik orang-orang tak bermoral. Aku berada di Indonesia. Di sebuah bangsa yang mayoritas penduduknya beragama sama dengan agama yang kuanut. Pancaran nurani masih ada terasa. Masih ada nuansa kemanusiaan. Masih dapat tersenyum. Kadang terlepas tawa. Tetapi apapun ceritanya, bagaimana pun keadaannya, aku kerap berhasil `escape` (melarikan diri) dari pengawasan para penjaga.


Jiwaku tidak berada di ruangan dengan dinding tembok tebal dan pintu terbuat dari besi-besi vertikal diselingi lima batang besi horisontal. Beralas karpet dan berkamar mandi luar atau dalam. Jiwaku kerap keluar dari penjara. "Rohku" ada disana, jauh melintasi sekian samudra. Rohku berada dalam barisan depan putra-putra intifadhah. Jiwaku ada di atas puing-puing reruntuhan rumah di Gaza dan Ramallah. Menyaksikan kepedihan sang kakek tua dan ibu renta yang cucu dan anaknya baru saja jadi mangsa Armalite dan Uzi atau Steiyer milik bangsa-bangsa kera. Aku ada di Palestina. Di sana aku hanyalah seorang pemuda tua yang tengah belajar arti sebuah derita dan kesakitan, makna sebuah luka dan perlawanan, maksud sebuah keteguhan dan kesabaran, tafsir dari sebuah jihad dan kesyahidan.

Aku belajar dari anak-anak kecil itu, yang kini di musim dingin tak lagi berjaket atau berkaos tebal karena telah musnah dibakar api biadab, api dendam neraka kekejaman Israel. Musnah dalam deru buldoser dan gelegar mortar. Aku kuliah dari remaja-remaja itu, yang tumbuh dalam kampus bernama `Universitas Darah` Palestina. `Laboratorium Tarbiyah` tempat mereka bereksperimen dalam kesamaptaan iman, mengubah lumpur menjadi mitralliur, mengubah batu menjadi peluru. Dalam benteng keteguhan iman, putra-putra Baitul Maqdis itu mengajarkan kepadaku tafsir ayat ini:

Maka, (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar...

(Al Anfal: 17)

Rohku hadir di Palestina, di barisan depan anak-anak kecil itu menggenggam batu-batu perlawanan, melemparkannya menjadi peluru, menghantam dan mengahajar bangsa-bangsa kera.

Escape. Rohku kini tak lagi terpenjara. Kini jiwaku ada di negeri para syuhada, negara sejuta duka. Afghanistan. Terakhir kupijakkan kaki di negeri itu pada akhir musim gugur `93.. Dalam darah dan dagingku telah bersenyawa gusbaqor (daging lembu), kacalu (kentang), nan (roti), dan brinj (nasi minyak).

Dalam jiwaku kini terdapat jiwa bangsa-bangsa Afghan. Bangsa yang terkenal paling sopan menyambut dan melayani para tamu. Bangsa yang tak pernah mengenal dendam. Namun bangsa-bangsa culas dan pembohong seperti Amerika dan pembohong-pembohong lainnya telah mementaskan sosok lain yang tak pernah ada dalam jiwa mujahidin Afghanistan. Mereka mencitrakan keberingasan, keganasan, urakan dan kerakusan. Padahal nurani dunia telah mengerti, bahwa perwatakan seperti itu hanya pantas dimiliki oleh mereka yang kalah perang secara telak di Vietnam, oleh bangsa pencaplok minyak kaum muslimin di Timur Tengah, oleh "si dia" yang telah memaketkan Tomahawk dari Laut Merah dan Teluk Persia hanya demi membunuh seseorang hamba Allah bernama Osama bin Ladin. Ironis!

Saat kutinggalkan, negeri itu masih terluka parah. Tangis di sudut-sudut desa belum lagi reda. Kulit-kulit peluru menjadi saksi mati atas apa yang pernah terjadi di negeri ini. Di seberang jalan yang kulalui, kemah-kemah kumuh para pengungsi, satu blok bertuliskan "Lajnah Ighatsah Alam Islami" (Lembaga Bantuan Dunia Islam), dan blok lain bertuliskan UNHCR (United Nation High Commision for Refugees).

Afghanistan, bangsa muslim yang terluka. Adalah wajar, jika Lajnah Ighotsah Alam Islami di samping memberikan bantuan materi, juga menyertakan bantuan non-materi seperti da`i dan kitab suci Al Qur`an. Mereka sama-sama muslim. Tetapi UNHCR? Ada udang di balik batu. Ada salib di balik susu. Anak-anak yatim di kamp pengungsian telah mengerti apa yang dikehendaki PBB (UN) dari segala `bantuan` yang mereka berikan. Ini telah menjadi rahasia umum. UNHCR hanyalah sebentuk pemurtadan terselubung di balik lips service bernama `Ajaran Kasih`. Dengan `maskot` Ibu Perdamaian Dunia bernama Theressa.

By the way, for me UNHCR is no more than United Nation Hidden Cross for Refugees (menurutku UNHCR adalah, salib terselubung untuk para pengungsi dengan kedok PBB).

Sepuluh tahun yang lalu, saat kutinggalkan negeri para pahlawan itu. Berselimut tipis. Gelegar petir sesekali terdengar. Baaran (hujan) es menandai peralihan musim. Dengan pakool (topi khas Afghan) di kepala, ridah warna coklat tua, baju panjang khas Afghan-Paki, dan jaket tipis tanpa tulisan. Seorang pemuda kurus, berjenggot tipis, menyalami para mujahidin Afghan dan Arab. Tidak ada ucapan perpisahan atau selamat tinggal. Ia tak berpisah dan meninggalkan mereka. Hatinya telah tertanam bersama kapas-kapas salju yang meresap dalam kerasnya batu-batu pegunungan Khost, dan menyusup dalam tanah-tanah Jalalabad, mengalir dalam sungai-sungai kecil di Kunar.

Pemuda kerempeng itu hanya pindah tempat, dari satu bumi ke bumi Allah yang lain. Pemuda itu harus hijrah ke negeri Sang Kiang Santang, ke negeri Wali Songo, ke tempat di mana Kyai Haji Wasid, Ki Sultan Ageng Tirtayasa berada. Ia hanya melangkahkan kaki ke kampung halaman Kyai Nawawi Tanah-Ara. Dari Afghanistan menuju ke Serang -pen. Pemuda itu bernama Qudama.


Tulisan ini dibuat oleh Kang Abdul Aziz alias Imam Samudera, dari balik jeruji besi.

p.s. : Buat kang imam, maaf kang, saya post tulisan akang tanpa izin, tapi insyaAllah, jika nanti banyak jiwa muslim yang kembali menemukan jalan rindu kepada Rabbnya karena tulisan ini, "royalti" nya tetap akan mengalir ke "kas amal" akang.

Tuesday, December 11, 2007

Aku Melangkah Lagi.....

Aku melangkah lagi
Lewat jalanan sepi
Perlahan tapi pasti
Mengikuti ayun melodi

Langkah silih berganti
Melalui hari yang sunyi
Aku melangkah lagi
Dengan pasti!

Langkah semakin cepat
Kar'na citaku semakin dekap
Hasrat kini terungkap
Dalam kata-kata yang terucap
Waktu terus melaju
Seirama alunan lagu
Aku melangkah lagi
Dengan pasti!

Liku-liku yang dulu
Adalah dulu bagiku
Dan kuyakinkan diri
Menghadapi yang terjadi

Harapan yang ada
Tak kan ku sia-sia
Kenangan yang lama
Sirna seiring nada

Ku tinggal kan
bayang-bayang semu
Lalu memulai cerita baru
Aku melangkah lagi!


--------------------------------Vina Panduwinata

Wednesday, December 05, 2007

Protocol Of Zions

Keberadaan Protocol of Zions, hingga sekarang masih diperdebatkan, ada yang menyatakan bahwa hal itu rekayasa, dan ada juga yang ngotot meyakini bahkan mengaku punya segudang fakta akan keberadaannya. Hingga kini perdebatan tersebut tak pernah usai, dan nampaknya akan terus menjadi polemik dunia. namun demikian, seperti yang pernah dikatakan henry ford dalam bukunya yang berjudul The International Jew (1976), benar atau tidaknya keberadaan protocol tersebut, nyatanya, keadaan dunia saat ini sejalan dengan isi protocol tersebut. lihatlah sekarang, bagaimana para tokoh yahudi memegang peranan sangat penting dalam perekonomian dunia, mereka menguasai berbagai sektor bisnis penting, menimbun emas, dan dekat dengan kekuasaan di berbagai negara maju..... lihatlah juga bagaimana seks bebas, minuman keras, narkotik (yang di dalam protocol disebut sebagai salah satu senjata) kini menyebar luas ke anak2 muda di berbagai penjuru dunia..... Semua ini sesuai dengan skenario dalam protocol tersebut.

Lalu andai protocol tersebut benar adanya, maka sungguh gw salud sama orang2 yahudi. ya, salut, karena mereka begitu gigih mengawal protokol yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun ini.. segala daya upaya mereka kerahkan, hingga akhirnya kini, cita2 yang diimpikan sudah hampir terwujud. selain itu, tokoh2 yang pertama kali menggagas protokol ini, tentunya sangat visioner, sistematis dalam merencanakan, dan juga taktis (walau di balut kelicikan dan kekejian).

Gw kemudian berfikir, andai orang2 islam bisa se-visioner dan se-gigih yahudi, tentunya kita lah yang saat ini menguasai dunia dengan kemuliaan. tapi kenapa kita saat ini ga bisa seperti itu ya....? padahal gw pikir, rencana2 taktis untuk mencapai sebuah kejayaan sudah tercantum dalam Al-Quran, hadits, sirah, dan banyak buku2 islam lainnya. kenapa kita ga bisa gigih mengkaji dan coba mewujudkan langkah2 yang ada dalam buku2 tadi.... Bukankah kita adalah ummat terbaik yang pernah turun ke dunia.....

Tuesday, December 04, 2007

Kasak Kusuk Kampusku (Bag.2)

Akhirnya Pemira usai, dan Mr. "E" keluar sebagai pemenangnya, mengalahkan Mas "B" dengan perbandingan suara nyaris 1 banding 2. di satu sisi, hal ini menjadi bukti bahwa ADeK-ADeK di kampus masih sangat solid dan loyal, dan perjalanan mobil pergerakan kemahasiswaan masih bisa dijaga dalam nafas dakwah.. tapi di sisi lain ada sedikit polemik yang disebabkan oleh kalahnya kapasitas pada loyalitas. bagaimanapun, gw yakin, siapapun yang terlibat disana, telah berusaha untuk memberikan yang terbaik. ke depan, gw berharap, mereka juga masih akan menguras keringat untuk tetap memberikan yang terbaik bagi satu keadaan ideal yang kita semua dambakan.